Hukum Nikah Mut’ah
Hukum Nikah Mut’ah dalam Al-Qur’an
Allah
berfirman, “…Maka istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka mahar (mas kawin) dengan sempurna…”
(Q.S. An-Nisa: 24)
فآتوهن أجورهن ) أي : مهورهن ، وقال آخرون : هو نكاح المتعة وهو أن ينكح امرأة إلى مدة فإذا انقضت تلك المدة بانت منه بلا طلاق ، وتستبرئ رحمها وليس بينهما ميراث ، وكان ذلك مباحا في ابتداء الإسلام ، ثم نهى عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم .
Nikah Mutah Adalah Nikah Sesaat Jika sudah tiba waktu yang di tenyukan maka dia si perempuan boleh dicerai, kemudian menjalani masa iddah, dan si wanita tidak bisa mendapatkan hak waris dari sang suami, Nikah mut ah ini di halalkan di permulaan islam kemudian Rosululloh melarangnya dengan sabdanya :
" يأيها الناس ، إني كنت أذنت لكم في الاستمتاع من النساء ، وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة ، فمن كان عنده منهن شيء فليخل سبيله ، ولا تأخذوا مما آتيتموهن شيئا
فآتوهن أجورهن ) أي : مهورهن ، وقال آخرون : هو نكاح المتعة وهو أن ينكح امرأة إلى مدة فإذا انقضت تلك المدة بانت منه بلا طلاق ، وتستبرئ رحمها وليس بينهما ميراث ، وكان ذلك مباحا في ابتداء الإسلام ، ثم نهى عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم .
Nikah Mutah Adalah Nikah Sesaat Jika sudah tiba waktu yang di tenyukan maka dia si perempuan boleh dicerai, kemudian menjalani masa iddah, dan si wanita tidak bisa mendapatkan hak waris dari sang suami, Nikah mut ah ini di halalkan di permulaan islam kemudian Rosululloh melarangnya dengan sabdanya :
" يأيها الناس ، إني كنت أذنت لكم في الاستمتاع من النساء ، وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة ، فمن كان عنده منهن شيء فليخل سبيله ، ولا تأخذوا مما آتيتموهن شيئا
Al-Qurthubi,
Al-Syaukani dan orang-orang yang sependapat dengan mereka mengatakan
bahwa hampir semua ulama menafsirkan ayat tersebut dengan nikah mut’ah
yang sudah ditetapkan sejak permulaan Islam. (Tafsir Qurthubi, juz 5,
hlm. 130; Ma’a Al-Qur’an karangan Baquri, hlm. 167; Al-Ghadir, juz 6,
saduran dari tafsir Syaukani, juz 1, hlm. 144).
Dalam
Mustadrak Al-Hakim dan kitab-kitab yang lain disebutkan bahwa Ibnu
Abbas bersumpah bahwa Allah menurunkan ayat tersebut untuk pembatasan
waktu dalam mut’ah. (Mustadrak Al-Hakim, juz 2, hlm. 305 berikut
keterangan Al-Dzahabi yang terdapat di tepi kitab tersebut pada hlm. Yang sama).
Ibnu
Abbas, Ubai bin Ka’ab, Said bin Zubair, dan Ibnu Mas’ud membaca ayat
tersebut dengan menyisipkan tafsirnya dengan bacaan sebagai berikut:
“Barangsiapa di antara kalian melakukan perkawinan dengan menggunakan
batas waktu maka bayarlah maharnya.”
Al-Razi
dan Al-Naisaburi setelah meriwayatkan bacaan tesrebut dari Ibnu Abbas
dan Ubai bin Ka’ab berkata, bahwa seluruh sahabat tidak ada yang
menyalahkan bacaan kedua sahabat itu sehingga dapat dikatakan bahwa
bacaan tersebut telah disepakati kebenarannya oleh seluruh umat.
(Tafsir Al-Naisaburi yang terdapat di tepi kitab Tafsir Al-Thabari juz
5, hlm. 18 dan dalam Kitab Tafsir Al-Razi, juz 10, hlm. 51, cet. Th.
1357 H).
Berdasarkan
ayat al-Qur’an di atas dan beberapa tafsirnya diketahui bahwa Islam
telah mensyariatkan nikah mut’ah. Namun, ada sebagian orang yang
menganggap bahwa nikah mut’ah telah dinasakh oleh ayat al-Qur’an yang
lain.
Untuk
menjawab pernyataan seperti itu, cukuplah saya mengutip perkataan
Al-Zamakhsyari dalam buku tafsirnya A-Kasysyaf “Kalau kalian bertanya
kepadaku apakah ayat mut’ah sudah dihapus, maka akan kujawab ‘tidak’,
karena seorang wanita yang dinikahi secara mut’ah dapat disebut sebagai
istrinya.” (Al-Kasysyaf juz 3, hlm. 177, cet. Beirut).Anehnya lagi,
ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa nikah mut’ah telah dinasakh
(dihapus) oleh hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Aalihi wassalam.
Tetapi pendapat kebanyakan sahabat dan pengikut Al-Zhahiri, Syafi’I,
dan Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayatnya mengatakan bahwa
hadits tidak dapat menasakh Al-Qur’an. (Al-Mustashfa juz 1, hlm. 124).
Hadits-hadits yang mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan – menurut saya –
tidak dapat kita ikuti, karena terjadi kontradiksi antara hadits yang
satu dengan yang lain mengenai waktu pengharamannya, diantaranya
sebagai berikut:
Ø Nikah mut’ah halal pada permulaan Islam, diharamkan pada saat perang Khaibar. (Zad Al-Ma’ad, hlm. 183)
Ø Dihalalkan
pada permulaan Islam, diharamkan pada Fath Mekkah.Diharamkan pada hari
Haji Wada’ (Al-Sirah Al-Halabiyah, juz 3, hlm. 104)
Ø Diharamkan pada saat perang Tabuk, dll.
Bahkan
ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah dibolehkan sebanyak 7 kali dan
dilarang 7 kali, yakni pada saat perang Khaibar, Perang Hunain, saat
Rasulullah melakukan Umrah Qadha’, Fath Mekkah, Perang Authas, Perang
Tabuk, dan Haji Wada’.
Untuk
anggapan yang seperti ini cukuplah kita kutip perkataan Ibnu Qoyyim,
“Tidak pernah terjadi dalam syariat penghapusan dua kali dalam satu
masalah, dan tidak pernah terjadi penghapusan tentang mut’ah.” (Zad
Al-Ma’ad, juz 2, hlm. 183).
Siapa yang Mengharamkan Nikah Mutah?
“Kita,
para sahabat di zaman Nabi Sawaw dan di zaman Abu Bakar melakukan
mut’ah dengan segenggam kurma dan tepung sebagai mas kawinnya, kemudian
Umar mengharamkannya karena ulah Amr bin Khuraits.” (Shahih Muslim,
juz 4, hlm. 131, cet. Masykul Th. 1334 H).
Al-Hakam,
Ibnu Juraij dan sesamanya meriwayatkan bahwa Imam Ali kw berkata,
“kalau bukan karena Umar melarang nikah mut’ah maka tidak akan ada
orang berzina kecuali orang-orang yang benar-benar celaka.”
Dalam
riwayat lain Imam Ali berkata, “Kalau pendapatku tentang nikah mut’ah
tidak kedahuluan Umar, aku akan perintahkan nikah mut’ah. Setelah itu,
jika masih ada orang yang berzina dia memang benar-benar celaka.”
(Tafsir Thabari, juz 5, hlm. 9) SANADNYA SHAHIH.
Umar adalah yang pertama kali melarang nikah mut’ah. (Tarikh Khulafa’, Imam as-Suyuthi, Bab II, hlm. 158).
Dari
riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa nikah mut’ah halal di zaman
Nabi Sawaw dan zaman Abu Bakar, tetapi ketika Umar menjadi khalifah, ia
mengharamkan nikah mut’ah hanya karena ulah seseorang. Tentunya
pendapat Umar ini tidak pantas kita ikuti, apalagi pengharaman atas
nikah mut’ah hanya karena adanya penyelewengan yang dilakukan
perorangan. Apakah jika ada orang yang menyalahgunakan nikah da’im kita
akan mengharamkan nikah da’im (nikah permanen)?
Ada
beberapa kawan kita yang ”shaleh” sering kali mengatakan bahwa bukan
Umar yang mengharamkan nikah mut’ah. Umar hanya mempertegas apa yang
telah diharamkan oleh Rasulullah.
Marilah kita menyimak secara seksama apa yang diucapkan oleh Umar, ”Dua
mut’ah yang dilakukan pada masa Rasulullah (Saw.) tetapi aku melarang
kedua-duanya dan aku akan mengenakan hukuman ke atasnya, iaitu mut’ah
perempuan dan mut’ah haji.””
Silakan
Anda cermati, disitu Umar dalam mengharamkan nikah mut’ah tidak
mengatasnamakan Rasulullah, tetapi mengatasnamakan dirinya sendiri
(ra’yu), terlihat dalam kalimat, “Dua mut’ah yang dilakukan pada masa
Rasulullah (Saw.) tetapi aku melarang kedua-duanya.”
Umar sendiri dalam suatu riwayat mengakui bahwa ia yakin betul Allah telah mensyariatkan nikah mut’ah di dalam Al-Qur’an.
“Saya
melarang nikah mut’ah walaupun nikah itu disebut dalam al-Qur’an dan
juga haji tamattu’ walaupun haji itu dikerjakan oleh Nabi Sawaw.”
(Sunan An-Nasai juz 5, hlm. 153; Al-Ghadir, juz 6, hlm. 205, di situ
disebutkan bahwa keseluruhannya hasil ijtihad Umar).
Bahkan,
Ibnu Umar ketika di tanya, “Bukankah ayahandamu mengharamkannya (nikah
mut’ah)? Ia menjawab, “Benar! Tetapi itu pendapatnya sendiri. (Dalail
Al-Shidq, juz 3, hlm. 97)
Hadits-hadits Ahlulbayt Tentang Nikah Mut’ah
Imam
Ja’far Shadiq meriwayatkan dari ayah-ayahnya bahwa Imam Ali bin Abi
Thalib pernah berkata, “Farji-farji wanita bisa menjadi halal dengan
tiga cara, yaitu nikah da’im, nikah mut’ah, dan dengan memilikinya
sebagai budak.”Diriwayatkan bahwa Imam Ali pernah melakukan mut’ah
dengan seorang wanita dari Bani Nasyhal di kota Kufah. (Al-Wasa’il bab
Nikah Mut’ah)
Abi
Bashir berkata dalam shahihnya: Aku bertanya kepada Imam Baqir tentang
halalnya nikah mut’ah. Beliau menjawab: Halalnya nikah mut’ah
tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 24. (Al-Wasa’il bab Nikah
Mut’ah).
Dan
masih banyak lagi hadits dari keluarga Rasulullah yang suci mengenai
halalnya nikah mut’ah. Untuk mengakhiri tulisan saya kali ini, saya
akan mengutip tulisan Prof. Sachiko Murata, “Nikah mut’ah adalah cara
yang paling tepat dalam menyelesaikan krisis seksual generasi muda
Amerika, saya cukup heran dengan bangsa muslim yang menolak cara paling
sehat, aman, dan melindungi hak perempuan. Jika bangsa Islam menolak
maka saya menyerukan kepada bangsa eropa dan amerika mengadopsi mut’ah
sebagai alternatif paling solusif dan sehat.”
0 komentar:
Posting Komentar